Total Tayangan Halaman

Selasa, 02 Oktober 2012

Sejarah Maluku Utara



SEJARAH MALUKU


Seperti daerah – daerah lainnya di Indonesia, Maluku sebagai wilayah kepulauan memiliki perjalanan sejarah cukup panjang yang tidak dapat dilepas-pisahkan dari sejarah Indonesia secara keseluruhan.

Meskipun di daerah Maluku belum pernah ditemukan fosil/kerangka manusia purba, namun ada asumsi yang mengatakan, bahwa di Maluku pernah hidup manusia purba yang mempunyai kemiripan dengan manusia Homo Sapiens,

yaitu manusia purba yang hidup sekitar 40.000 tahun SM di daratan Jawa dan pulau – pulau lain di Nusantara ini sebenarnya adalah manusia Australoid, yaitu suatu ras manusia yang punya kemiripan dengan penghuni pertama Pulau Seram.

Sebagai daerah yang cukup subur, Maluku tentu saja mengundang kedatangan kaum migrant dari berbagai kawasan yang menimbulkan gelombang perpindahan dan menghasilkan percampuran kebudayaan antara penghuni lama/asli dengan

suku-suku pendatang yang kemudian melahirkan suku-suku baru, seperti suku Alune dan suku Wemale yang mendiami Pulau – pulau seram, Buru, dan Halmahera yang di duga merupakan nenek moyang suku – suku Alifuru, Togifil,

dan Furu-Aru.Pada awal abad ke-7 pelaut – pelaut dari daratan Cina pada masa Dinasti Tang, telah menyinggahi daerah-daerah di kepulauan Maluku untuk mencari rempah –rempah, namun mereka merahasiakannya agar tidak diketahui

oleh bangsa – bangsa lain dalam mencari rempah- rempah itu.Pada jaman keemasan Kerajaan Sriwijaya di Abad ke-12, Kepulauan Maluku termasuk dalam wilayah kekuasaan kerajaan itu. Pada Abad ke-14, Majapahit mengambil alih kekuasaan

maritime di hamper seluruh wilayah Asia Tenggara, termasuk pula Kepulauan Maluku. Para pedagarng dari Eropa, seperti Portugis, Spanyol, dan Belanda baru menemukan jalan ke Kepulauan Maluku pada Abad ke-16.Masuknya agama Islam melalui pedagang – pedagang dari Aceh,

Malaka, dan Gresik pada Abad ke-14 dan ke-15 turut memperkenalkan bentuk pemerintahan yang lebih rapi dan teratur, seperti pada Kesultanan Ternate, Tidore, Bacan serta Jailolo. Pada tahun 1512, bangsa Portugis yang telah menemukan jalan ke Kepulauan Maluku dan

menjalin persahabatan dengan Kesultanan Ternate, diberi izin untuk mendirikan benteng di Pikapoli dan Hitulama serta Mamala. Sembilan tahun kemudian, Spanyol mulai menapakkan kaki di Kepulauan Maluku dan mendirikan benteng di Tidore.Tahun 1570, karena kalah perang

dengan Kesultanan Ternate yang diperintahkan Sultan Baabullah, Portugis diusir dari Ternate dan pindah ke Ambon. Tahun 1577 armada Inggris tiba di Ternate. Bangsa Belanda pun mulai mengincar Maluku dan membantu Hitu dalam perang melawan Portugis di Ambon dan Portugis

akhirnya dapat dikalahkan dan harus menyerahkan benteng pertahanannya yang ada di Ambon kepada Belanda, demikian pula dengan bentent Inggris di Kambelo – Pulau Seram. Sejak saat itu, Belanda menguasai sebagian besar kepulauan Maluku. Posisi Belanda semakin kuat dengan

berdirinya VOC pada tahun 1602 sehingga Belanda praktis menjadi pemegang monopoli perdagangan rempah – rempah di Kepulauan Maluku. Untuk memperkuat kedudukannya di Maluku, Belanda membentuk badan administratif yang disebut Governement van Amboina, demikian pula di Banda,

Kei, Aru, Tanimbar serta teon-Nila Serua yang berada di bawah pengawasan Governement van Banda.System monopoli yang diterapkan Belanda dalam perdagangan rempah –rempah lambat laun mengundang perlawanan rakyat Maluku yang merasa tidak suka dengan penerapan system monopoli tersebut,

sehingga muncullah perlawanan rakyat dimana – mana terhadap belanda. Tahun 1643 Kakiali mengobarkan perlawanan terhadap Belanda. Tahun 1644 Tulukabessy dan Fatiwani bangkit melawan Belanda, namun pada tahun 1646 perlawanan rakyat itu dapat dihancurkan Belanda dan Tulukabessy dihukum

gantung di Benteng Victoria pada tahun 1648.Situasi Eropa turut mempengaruhi keadaan tanah jajahan Belanda di Nusantara tidak terkecuali di kepulauan Maluku. Tahun 1795, Kerajaan Belanda ditaklukkan oleh Perancis dan pada tahun 1799 VOC di bubarkan. Pada tahun 1810, Kerajaan Belanda

menjadi bagian dari Kerajaan Perancis. Kondisi ini sangat berpengaruh bagi kekuasaan Belanda di Kepulauan Maluku. Tahun 1810 kekuasaan Belanda di Maluku jatuh ke tangan Inggris. Inggris Menguasai Maluku sejak tahun 1811 - 1817Tahun 1814, sesuai Konvensi London, Inggris harus mengembalikan

daerah – daerah jajahan yang direbutnya itu kepada Belanda. Tahun 1817, Belanda mulai mengatur kembali pemerintahannya di Maluku dan menyatukannya dalam satu government, yaitu Governement de Molukken.



Apa yang Anda ingat dari sejarah Maluku?  Tentunya sosok pahlawan perjuangan yang sejak sekolah dasar dikenal  kepada kita. Pahlawan tersebut adalah Thomas Matulessy yang kemudian  diberi gelar Kapiten Pattimura.

Padahal lebih dari itu, Maluku ternyata menyimpan sejarah sebagai provinsi tertua sejak kemerdekaan Republik Indonesia. Melimpahnya rempah-rempah di Maluku menjadi cikal-bakal perjalanan panjang sejarah penjajahan di Maluku.

Al-Mulk

Maluku dikenal kawasan Seribu Pulau,  mempunyai ragam sosial budaya dan kandungan alam melimpah ruah. Ditarik  dari sisi sejarah, kepulauan Maluku terdiri dari kerajaan-kerajaan  Islam yang menguasai pulau itu. Nama Maluku sendiri berasal dari kata  bahasa Arab Al-Mulk yang mempunyai makna tanah kerajaan.


Rempah

Maluku  juga memiliki perjalanan sejarah panjang, seperti juga daerah lain,  yang tak bisa dilupakan begitu saja. Sejak dahulu kala, Maluku yang kaya  akan rempah ini dikenal di lintas internasional.

Abad ke-7 pelaut Cina Dinasti Tang, kerap mengunjungi Maluku mencari rempah-rempah. Mereka  merahasiakannya kayanya Maluku, agar tak ada bangsa lain yang datang.

Namun  pada abad ke-9 pedagang Arab akhirnya menemukan Maluku setelah  terombang-ambing mengarungi Samudra Hindia. Selanjutnya, pada abad ke-14  merupakan era perdagangan rempah Timur Tengah dan menjadi sumber masuknya agama Islam di Maluku melalui pelabuhan Aceh, Malaka, dan Gresik.


Portugis

Portugis adalah bangsa Eropa pertama yang menemukan Maluku. Tepatnya pada tahun 1512 membawa dua  armada di bawah pimpinan Anthony d'Abreu dan Fransisco Serau. Seperti  biasa, mereka melakukan kunjungan ke raja-raja dan mendapatkan izin  mendirikan benteng. Namun hubungan tidak lama.

Portugis melakukan sistem monopoli dan menyebarkan agama Kristen.  Sejarah mencatat, persahabatan Portugis dan kerajaan Ternate di Maluku  berakhir pada 1570 oleh perlawanan Sultan Babullah selama 5 tahun  tepatnya sejak tahun 1570 hingga 1575.

Portugis angkat kaki dari Ternate. Hal ini lansung dimanfaatkan oleh Belanda untuk masuk ke Maluku. Belanda semakin kuat karena adanya VOC. Belanda pun menjadi penguasa tunggal di kepulauan Maluku.

Pahlawan

Belanda mendapat tantangan keras dari rakyat Maluku karena kondisi politik, ekonomi, dan hubungan sesama masyarakat  memburuk. Di bawah pimpinan Thomas Matulessy yang kelak diberi nama  Kapitan Pattimura, rakyat Maluku bangkit mengangkat senjata.

Thomas tak lain adalah bekas sersan mayor tentara Inggris.  Meski kemenangan perjuangan awal kian menggelorakan pemuda-pemuda lain,  namun kelicikan Belanda pada akhirnya memprokporandakan para pejuang.  Pattimura pun dihukum mati.


Jepang

Berkecamuknya perang pasifik pada 1941 mencatat kisah sejarah penjajahan di Indonesia. Gubernur Jenderal Belanda kala itu,  melalui radio menyatakan pemerintah Hindia Belanda berada dalam keadaan  perang dengan Jepang.

Sementara tentara Jepang tidak menemui banyak kesulitan saat merebut kepulauan di Indonesia. Mereka  masuk dari daerah utara melalui pulau Morotai sementara arah timur  melalui pulau Misool. Akhirnya, dalam waktu singkat seluruh wilayah Kepulauan Maluku dikuasai.


KE 2



Oleh: Muliansyah Abdurrahman Ways
Maluku Utara merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang baru memekarkan di tahun 1999 dari provinsi induknya Maluku, dimana daerah tersebut selain dikenal daerah para raja-raja juga dikenal sebagai daerah yang memiliki kekayaan alam rempah-rempah dan penghasil ikan laut. Melihat kekayaan perut bumi Maluku Utara cukup melimpah dan punya nilai tawar yang sangat tinggi baik dalam wilayah perairan Republic Indonesia maupun bangsa-bangsa lainya. Patut di syukuri atas limpahan rahmat Tuhan Yang Maha Esa dengan begitu bannyaknya penciptakan kehidupan alam di muka bumi ini khususnya bumi Moloku Kie Raha. Namun Maluku Utara juga di bangun atas dasar local wisdom yang akan menjadi pemikat utama daerah tersebut untuk di bangun. Oleh karena itu sederet dengan kata diatas maka pembangun daerah tidak terlepas dengan pembangunan manusia yang notabene adalah kehadiran mahasiswa itu sendiri, dimana mahasiswa menjadi tulang punggung daerah dan investasi daerah di masa akan mendatang.
Pembangunan daerah menjadi tugas dan tanggung jawab bersama oleh seluruh elemen-elemen di daerah baik PEMDA (Pemerintah Daerah), Mahasiswa, akademisi, LSM maupun masyarakat secara luas. Sehingga bidikan untuk membangun daerah demi masyarakat yang sejahterah dan cerdas dapat di wujudkan, Pertanyaan kemudian adalah apakah penyelenggaraan kekuasaan Negara khususnya di Maluku Utara atau dalam hal ini PEMDA yang bagian dari pengambil kebijakan di wilayah tersebut sudahkah melakukan penyaringan terhadap hal itu atau paling tidak punya perhatian khsusus terhadap kaumla muda/mahasiswa yang merupakan investasi utama dalam membangun daerahnya. Gaya pemerintah elitis dan menampilkan arogansinya adalah salah satu factor ketidakpercayaanya masyarakat mahasiswa terhadap jalanya pemerintahan dan kemudian melahirkan banyak persoalan-persoalan yang berkaitan dengan relasi antara mahasiswa dengan PEMDA dan masayarakat pada umumnya.
Perilaku PEMDA yang arogan dan elitis berdampak pada relasi mahasiswa dengan PEMDA, sehingga daerah hanya menjadi sarang korupsi, kolusi, nepotisme dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah sangat lemah. Apalagi mahasiswa bagian dari social control, social change dan social forces, mereka kapan saja dan dimana saja pasti melakukan sebuah perubahan baik di tingkatan system dan di masyarakat sendiri. Banyak keluhan mahasiswa dari berbagai strata S1, S2 hingga S3 ketika menyentuh dengan PEMDA Maluku Utara dalam pembiyayaan studi di luar Maluku Utara antara lain di Manado, Makassar dan di pulau Jawa. Pemberian wasilitas asrama kepada mahasiswa tanpa ada kejelasan, dan hajatan mahasiswa pun tak di perdulikan oleh PEMDA setempat. Inikah arogansinya PEMDA ketika sudah bersentuhan dengan mahasiswa atau ini bagian dari bobroknya birokrasi di lingkungan PEMDA Maluku Utara.
Seorang Gaetano Mosca dalam bukunya The Rulling Class pernah mengingatkan bahwa ada yang namanya “sirkulasi elite” dimana elite yang berkuasa adalah orang-orang yang duduk di tempat-tempat strategis diataranya Gubernur, Buapti, Walikota dan kroni-kroninya. Dia mencoba mengklasifikasikan elit ini ke dalam dua status yaitu elit yang berada dalam stuktur kekuasaan dan elit yang diluar stuktural yaitu masyarakat. Elit berkuasa menurut Mosca yaitu elit yang mampu dan memiliki kecakapan untuk memimpin dan menjalankan control social. Dalam proses komunikasi, elit berkuasa merupakan komunikator utama yang mengelola dan mengendalikan sumber-sumber komunikasi, sekaligus mengatur “lalu lintas” transformasi pesan-pesan komuniaksi yang mengalir baik secara horinzontal maupun vertical. Elit berkuasa selalu menjalin komunikasi dengan elit masyarakat untuk mendapatkan legitimasi dan memperkuat kedudukan sekaligus mempertahankan status quo. Hal ini dapat di korelasikan dengan elite PEMDA dan masyarakat mahasiswa yang di maksud, maka kedua elite tersebut bukan menjalin simbiotik mutualisme tetapi justru teori terbaliklah yang membuat kerenggangan antara PEMDA dan Mahasiswa.
Padahal kalau di telisik lebih jauh bahwa sumber kerenggangan antara mahasiswa dan PEMDA bukan pada persoalan bobtroknya sebuah system demokrasi, akan tetapi yang menjadi symbol kerenggangan adalah ruang dialog antara PEMDA dan mahasiswa agak langkah bahkan tidak pernah. Sehingga inilah penulis maksud bahwa gaya arogansi dan elitisnya PEMDA menjadi dilema. Kasus beberapa hari yang lalu hajatan mahasiswa Maluku Utara Se-Indonesia di Makassar yang sebelumnya tahun 2009 di laksanakan di Jakarta yang di beri nama “Kongres Mahasiswa Maluku Utara Se-Indonesia” yang bertajuk konsolidasi dan silaturrahmi agar memupuk persatuan dan kesatuan mahasiswa Maluku Utara dalam bingkai marimoi ngone future. Nampaknya tidak satupun symbol-simbol atau muspida PEMDA Maluku Utara yang datang menggelorahkan kegiatan mahasiswa tersebut, seolah PEMDA “acu” terhadap hajatan mahasiswa yang setiap tahun di laksanakan. PEMDA tidak satupun unjuk gigi pada kegiatan yang dilangsungkan, sehingga pada saat itu ketua umum mahasiswa Maluku Utara-Makasasr dalam sambutanya juga sempat menyinggung bahwa ”kami tidak iklas nama atau logo yang terpampan di depan kami” (kata Tilawa).
Ketidakpeduliannya PEMDA terhadap mahasiswa itulah membuat mahasiswa semakin kecewa terhadap sikap atau perilaku PEMDA Maluku Utara yang sangat arogan dan elitis. Kenapa PEMDA tidak begitu welcome untuk membuka ruang dialog dengan mahasiswa, jangan menganggap remeh dengan mahasiswa, karena mahasiswa adalah biang dari agen perubahan itu sendiri. Cobalah kita membalik paradigma bahwa mahasiswalah yang menjadi investasi pembangunan manusia Maluku Utara dimasa akan datang. Kalau ini sudah terbangun, maka tidak ada lagi pemisahan dan menganggap mahasiswa bagian dari ancaman. Justru yang terjadi adalah mahasiswalah bagian dari tulang punggung daerah.
Oleh karena itu, sikap arogan dan elitis di lingkungan PEMDA Maluku Utara diharapkan tidak terulang lagi, jadikan PEMDA Maluku Utara sebagai sentral dilaketika untuk membangun bangsa dan daerahnya. Bukalah ruang dialogis antara PEMDA dan Mahasiswa agar terciptanya komunikasi yang intens dan konsolidasi aktif untuk mencari solusi yang solutif, sehingga berbagai elemen mampu menjawab, mengartukulasikan dan dapat mendefinisikan tantanagan yang dihadapi oleh masyarakat Maluku Utara.




Minggu, 30 September 2012







MASA KERAJAAN
Sebelum kerajaan ternate menduduki Sula sitem pemerintahannya berbentuk kesatuan sosial yang bersifat organisasi masyarakat desa, dengan kepala pemerintahannya bergelar kepala soa dan sekaligus merupakan panglima perang.
Sula sendiri adalah nama yang berikan oleh sultan Babullah yang berarti menara atau tiang panjang , setelah melihat kondisi kepulauan yang datar atau rata. Penamaan ini pertama kali dilakukan saat ekspansi kekuasaan Sultan Ternate yang terjadi hingga kepulauan sula 1575. Di bawah kepemimpinan Sultan Babullah ekspansi ini juga menjadikan sistem pemerintahan di Kepulauan Sula mengalami perunbahan. Kepulauan Sula kemudian di pimpin oleh seorang Salahakan, dimana menjalankan pemerintahan dibantu oleh Sangaji-Sangaji dari 4 (empat) yalai terbesar di sula . Baik salahkan maupun Sangaji – Sangji semuanya dipilih dan diangkat atas prsetujuan Sultan. Ke-4 Suku yafai yaitu Yafai Fatce ,Yafai Fagudu ,Yafai Faahu dan Yafai Mangon .Yafai Fatce menempati wilayah barat pulau Sula Besi , bagian selatan di tempati Yafai Fagud dan bagian utara oleh Yafai Faahu. Sedangkan diBagian timur ditempati Yafai Mangon. Pada wilayah-wilaya ini mereka hidup berpencar Dan di pegunungan maupan di pesisir pantai dengan beberapa keluarga berdasar kepala soa-soa tertentu. Mereka kemudian dikenal dengan nama Matapia sua atau orang sula yang didalamnya termasuk masarakat fogi, yang waktu itu masi mendiami daerah pegunungan.

KOLONIAL BELANDA
Masuknya belanda pada tahun 1909, maka kepulauan Sula dijadikan Order Afdeeing dengan kepala pemerintahannya disebut Controler dan berkedudukan di Sanana. Berdirinya Onder Afdeeling dengan sendirinya mengahiri kekuasaan salahaka beserta Sangaji-Sangaji. Belanda kemudian membangun distrik-distrik yang diantaranya distrik Sanana, distrik Pas Ipa, distrik Kawalo, sedangkan fogi masuk kedalam distrik Sanana.
Guna menghindari perpecahan di tengah masyarakat akibat politik devide et impers yang sering diterapkan oleh Belanda. Maka timbullah keinginan untuk menyatukan diri dalam satu kesatuan wilayah. Melalui masyarakat, kepala-kepala sukunya tahun 1911 dan menyampaikan kepada Sultan dan Controller Belanda, maka disepakati bahwa kesatuan wilayah yafai-yafai tersebut di akui dan diberikan status hukum (semacam desa) sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum adat.

PERJUANGAN MASYARAKAT SULA DAN HPMS DARI MASA KE MASA
Setelah kemerdekaan pemerintahan Indonesia kemudian merubah distrik-distrik tersebut menjadi kecamatan yaitu Kecamatan Sanana, Kecamatan Taliabu timur, dan Kecamatan Taliabu Barat. Yafai Fogi sandiri masuk kedalam wilayah Kecamatan Sanana setelah penduduknya pindah dari daerah pegunungan kedaerah pesisir pada tahun 1946. Proses yang panjang dan melelahkan menyertai pembentukan Kabupaten Kepulauan Sula berawal dari diutusnya dua orang putra sula yakni; H. Adam Yoisangadji (Alm) dan Yusuf Mayau (Alm) guna menghadap dan meminta presiden sukarno untuk dapat berkunjung ke kepulauan sula, setelah dalam kunjungan sebelumnya di tahun 1954 ke kabupaten Maluku utara hanya pulau Sula yang tidak dikujungi oleh Presiden Sukarno namun Presiden Sukarno berhalangan dan mengutu Wakil Presiden Drs. Muhammad Hatta ke Kepulauan Sula.
Saat Indonesia dalam kondisi tidak menentu tahun 1957 akibat pemberontakan di sana-sini guna memerdekakan diri dari republic. Masyarakat Maluku Utara tetap menuntut adanya pembentukan Maluku Utara menjadi daerah tingkat I beserta daerah-daerah tingkat I lainnya di Maluku Utara termasuk Kepulauan Sula perjuangan yang juga membutuhkan pengorbanan ini dimana tokoh politik dan aktivis pemekaran harus rela ditangkap dan diasingkan dipulau Nusakembangan. Peristiwa ini juga menyebabkan putusnya hubungan antara Sanana dengan Makasar yang merupakan pusat pergerkan dan perjuangan dari masyarakat kepulauan sula.
Menyikapi kondisi tersebut dibutuhkan sebuah wadah untuk tetap dapat terus memperjuangkan aspirasi masyarakat kabupaten kepulauan sula. Pada tanggal 29 september 1959 dikota Makassar lahirlah sebuah organisasi yakni Himpunan Pelajar Mahasiswa Sula (HPMS) sebagai tindak lanjut dari pertemuan yang di lakukan sebelumnya tanggal 15 september 1959 ikatan keluarga sula bersama beberapa pelajar dan mahasiswa sebagai elemen dalam pergerakan. Bukanlah sesuatu tanpa alasan. Pelajar dan mahasiswa dimassa itu dipandang masih mampu menjaga kemurnian gerakan dalam menyampaikan aspirasi masyarakat Sula.
Keseriusan perjuangan masyarakat Sula dapat terliat jelas ketika pembangunan 15 rumah yang diperuntukan untuk pegawai. Yang kini dikenal dengan komplek perumahan daerah di Sanana. Pembangunan ini secara politis guna mendukung kebijakan pemekaran Maluku Utara dimana didalamnya Kepulauan Sula termasuk rancangan pemekaran dengan tingkat II Maluku Utara yang tertuang dalam SK Gubernur Maluku tanggal 6 Desember 1966. No; Des 15/3/66
Meskipun selalu kandas momentum-momentum perjuangan masyarakat Sula terus berlanjut diantaranya: pertama saat diadakan resolusi rakyat Kepulauan Sula tanggal 28 Desember 1971 yang memberi mandat kepada HPMS untuk menindaklanjuti resulusi tuntutan pembentukan Kabupaten Kepulauan Sula. kedua saat Bupati Maluku Utara Abbdullah Assagaf bersama DPRD Maluku Utara mengajukan proposal ke Gubernur Maluku mengenai rencana pemekaran kabupaten termasuk di antaranya Kabupaten Kepulauan Sula
Melalui rekomendasi yang dikeluarkan DPRD Kabupaten Maluku Utara dan DPRD provinsi Maluku Utara dan pembahasan yang di lakukan hngga di tingkat komisi II DPR RI. Maka akhirnya melalui sidang paripurna DPR RI tanggal 27 Januari 2003, DPR RI mengesahkan undang-undang pembentukan 25 kabupaten kota di 10 provinsi termasuk termasuk didalamnya Kabupaten Kepulauan Sula.

Arti Logo

PENJELASAN LAMBANG
Lambang Daerah Kabupaten Kepulauan Sula bernama “Juanga” yang diambil dari nama perahu budaya yang dipercayai masyarakat Kepulauan Sula sejak dahulu kala, sebagai transportasi antar pulau, armada perang melawan penjajah maupun pengamanan territorial, serta di pergunaan ntuk menyerahkan upeti kepada kesultanan ternare sebagai salah satu wujud kepatuhan terhadap wilayah hukum adat.
LAMBANG
1. Lambang daerah berbentuk jantung manusia mengandung makna, apabila daerah kabupaten kepulauan sula itu seumpama tubuh manusia, maka logo inilah jantungnya yang merupakan suatu alat vital dimana senantiasa memompakan darah keseluruh tubuh jasmani itu bisa hidup selama nyawa masih ada dikandung badan.
2. Lambang daerah dengan garis tepi berwarna merah sebagai perlindungan yaitu sama-sama mempertahankan kabupaten kepulauan sula dari berbagai ancaman, baik yang datang dari luar maupun yang dari dalam serta refleksi terhadap kemandirian daerah dan bangsa, sebagai jiwa nasional, cinta tanah air dan rasa kebangsaan yang kokoh.
3. Didalam bigkai bersudut lima terdapat:
a. Sebuah bintang berwarna kuning emas.
b. Tiga puluh satu helai daun kelapa berwarna kuning, pada sisi kiri dan kanan lambang.
c. Tiga buah pulau berwarna coklat dan hijau
d. Satu buah perahu berwarna coklat hitam, dan tiga buah dayung berwarna hitam putih
e. Tali berbentuk lingkaran berwarna merah dan putih
f. Lima buah gelombang berpuncak lima berwarna putih pada bagian bawah perahu
g. Tulisan “DAD HIA TED SUA” berwarna hitam pada pita berwarna kuning dan merah.
h. Angka 2003 pada bagian bawah tulisan DAD HIA TED SUA.

ARTI DAN MAKNA
1. Bintang berwarna kuning emas melambangkan sila pertama dari Pancasila sebagai dasar Negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia, bermakna ketuhanan yang maha esa, maha suci, yang telah melimpahkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup umat manusia, yang merupakan gambaran bahwa masyarakat kabupaten kepulauan sula juga percaya dan beriman kepada tuhan yang maha esa yang tercermin dalam kehidupan bermasyarakat yang dilandasi dengan penghayatan dan pengamalan ajaran agama.
2. Tiga puluh satu helai kelapa berwana kuning pada sisi kiri dan kanan lambang, bermakna kelapa merupakan komoditi umum serta merupakan salah satu sumber kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat kabupaten kepulaua sula. Angka 31 melambangkan tanggal peresmian kabupaten kepulauan sula.
3. Tiga puluh berwarna coklat dan hijau bermakna Kepulauan Sula terdiri dari 3 pulau besar yaitu Mangoli, Taliabu dan Sulabesi merupakan suatu Kesatuan Wilayah, budaya, dan adat yang dilandasi dengan semangat persaudaraan dan kebersamaan, sepakat bersatu dengan hati yang suci dan ikhlas merupakan modal utama masyarakat Kepulauan Sula menjadi daerah yang makmur dan sejahtera, serta sebuah daerah yang subur dan damai dilandasi dengan sikap religius.
4. Perahu berwarna coklat dan hitam serta tiga buah dayung berwarna hitam putih, bermakna kekuatan masyarakat Kepulauan Sula dijiwai rasa kebersamaan, berani mengarungi bahtera kehidupan tetapi tetap waspada terhadap segala bentuk ancaman dan gangguan yang datang dari luar maupun dari dalam serta selalu tegas dalam mempertahankan keutuhan Kabupaten Kepulauan Sula, dengan senantiasa mengharapkan Keridhaan Allah SWT.
5. Bintang Cakrawala biru muda dan biru tua, pada garis batasnya terletak 3 pulau mempunyai makna letak geografis Kepulauan Sula dari Tanjung Waka hingga Tanjung Lifmatola, dihubungkan oleh laut dengan segala potensinya, yang walaupun terpisah pulau namun keteguhan hati, kesabaran serta kearifan masyarakat tetap bersatu dalam bingkai DAD HIA TED SUA.
6. Tali berbentuk lingkaran berwarna merah dan putih melambangkan persatuan, bermakna sebagai suatu kekuatan moral bagi masyarakat yang berdomisili di kabupaten Kepulauan Sula yang walaupun berbeda-beda Agama, Adat Istiadat, Suku, namun atas dasar persaudaraan dan kekeluargaan mereka dapat bersatu dan berjuang bersama-sama membangun negeri ini untuk menggapai masa depan yang lebih baik yang dicita-citakan.
7. Lima gelombang berwarna putih dibawah perahu Juanga bermakna bahwa dalam memperjuangkan pemekaran Kabupaten Kepulauan Sula selama ini dan langkah kehidupan kita kedepan sudah tentu mengalami berbagai halangan, hambatan, cobaan, tantangan dan godaan, namun Alhamdulillah dikabulkan oleh Allah SWT, sehingga sukseslah menjadi Kabupaten Kepulauan Sula yang peresmiannya pada bulan ke 5 tahun 2003.
8. Tulisan DAD HIA TED SUA berwarna hitam dari bahasa Sula yang berarti “Bersatu Angkat Sula”, umumnya telah dipahami oleh masyarakat yang merupakan motto lambang Daerah bermakna keutuhan masyarakat Kepulauan Sula sejak dahulu kala dijiwai rasa persatuan, kebersamaan, gotong royong dalam suatu bahtera kehidupan dengan hati suci dan ikhlas serta rela berkorban untuk kepentingan bersama walaupun berbeda Agama, Adat Istiadat, Suku dan lain-lain sehingga seberat apapun tantangan yang dihadapi akan menjadi ringan.
9. Angka 2003 yang terletak dibawah tulisan DAD HIA TED SUA bermakna tahun lahirnya kabupaten Kepulauan Sula.

LAMBANG
Lambang Daerah memantulkan berbagai jalinan warna yang serasi dengan maknanya :
1. Kuning bermakna kemakmuran, kesejahteraan, dan kematangan.
2. Coklat bermakna ketegasan.
3. Putih bermakna kesucian, keikhlasan dan kerelaan.
4. Hijau bermakna kesuburan, kedamaian dan kerelaan.
5. Merah bermakna keberanian.
6. Hitam bermakna kewaspadaan, kekuatan dan ketegasan.

Nilai Budaya

****
back

Sejarah kesultanan ternate


 





Benda-benda cagar budaya yang memperlihatkan bukti kejayaan Kesultanan Ternate, terdiri dari berbagai monumen baik artefak mau pun bangunan yang tersebar di seluruh bagian Pulau Ternate. Peninggalan-peninggalan itu antara lain istana (kedaton) yang didirikan oleh Sultan Mohammad Ali tahun 1823, runtuhan Mesjid Raya yang didirikan oleh Sultan Mohammad Zain abad XVII M.

Selain itu terdapat pula perbentengan yang mengelilingi istana kompleks makam dan berbagai benda keraton yang kini dihimpun dalam istana, yang telah dialihkan fungsinya sebagai keraton.

Menurut Prof. DR. Hasan M. Ambary, setidaknya di Pulau Ternate terdapat dua kompleks para raja Ternate, pertama di kaki bukit Foramadyahe dan yang kedua terletak di dekat kompeks Mesjid Agung Ternate. Yang dimakamkan di Foramadyahe antara lain Sultan Khairun dan Sultan Baabullah, sedangkan yang dimakamkan di dekat Mesjid Agung adalah para Sultan (dan eluarganya) yang memerintah antara abad XVIII-XIX.

Makam-makam yang menarik perhatian adalah makam para sultan yang terdapat di sekitar Mesjid Agung. Makam tertua di sini adalah makam Sultan Sirajul Mulk Amiruddin Iskandar Qaulin yang wafat pada Sabtu 10 Syawal 1213 H atau 13 Maret 1799 M, seperti tertera pada kaligrafi jirat/nisannya.

Seni kaligrafi di makam-makam Mesjid Agung ini terususun dengan indahnya, bergaya tulis Naskhi, dengan ragam hias floralistik khas Ternate yang memiliki persamaan gaya seni Polynesia.

Makam-makam lainnya bernama Sultan Maulana Tajul Muqayyam (1811) Sultan Maulana Tajul Mulk Amiruddin Qaulan (1850), Sultan Ayanhar Putra (1896), dan Sultan Muhammad Uthman (1943).

Museum Istana Kesultanan
Istana Kesultanan Ternate sesuai dengan pupusnya kesultanan seiring dengan Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, bukan lagi sebagai pusat kendali politik atas wilayah-wilayah yang pernah dibawahinya di masa lalu, sekarang berfungsi sebagai pusat pelestarian benda cagar budaya bekas Kesultanan Ternate.

Istana dengan bangunan gaya Eropa Abad XIX ini mengahadap ke arah laut, berada satu kompleks dengan Mesjid Kesultanan yang didirikan oleh Sultan Hamzah, Sultan Ternate ke-9, Istana Kesultanan Ternate terletak pada dataran pantai di Kampung Soa-Sio, Kelurahan Letter C, Kodya Ternate, Kabupaten Maluku Utara.

Istana kekar yang dikelilingi perbentengan ini, berubah fungsi menjadi Museum Kesultanan Ternate, yang menyimpan, merawat dan memamerkan benda-benda pusaka milik kesultanan seperti senjata, pakaian besi, pakaian kerajaan, perhiasan, mahkota, topi-topi perang (helmet), alat-alat rumah tangga, naskah-naskah (Al Quran kuna, maklumat, surat-surat perjanjian) dan sebagainya.

Senjata-senjata yang dipamerkan antara lain senapan, meriam kecil, peluru-peluru bulat, tombak, parang dan perisai.

Mengenai senjata tradisional (tombak dan pedang/keris/parang) terdapat catatan penting yang dikemukakan oleh Cornelis Speelman (1670) dan J.H. Toblas (1857) di mana disebutkan mengenai ekspor senjata (tombak dan pedang) dari Kerajaan Tobungku (Sulawesi Tenggara) ke Ternate dalam jumlah besar, terutama sebagai upeti, mengingat pantai timur Sulawesi pada abad XVI-XVII menjadi wilayah kekuasaan Ternate.

Sebagai kesultanan, Ternate tentu memiliki tingkat kemakmuran tinggi, setidaknya seperti yang tampak pada penampilan fisik kerajaan dan keluarga kerajaan. Emas merupakan salah satu indikatornya. Penggunaan berbagai bentuk emas sebagai hiasan tubuh, seringkali membuat tercengang orang Eropa yang menyaksikannya. Catatan Francis Drakke (1580) menggambarkan pakaian Sultan Ternate yang bertemu dengannya sebagai: “…Pakaian benang emas yang mewah, perhiasan-perhiasan dari emas dan kalung raksasa dari emas murni…”.

Koleksi emas Kesultanan Ternate baik yang diperagakan dalam vitrim museum yang disimpan oleh keluarga kesultanan antara lain berupa mahkota, kelad bahu, kelad lengan, giwang, anting-anting, buah baju, cincin, gelang, serta bentuk hiasan lainnya.

Cukup menggugah perhatian kita pula adalah berbagai koleksi yang berkaitan dengan administrasi kesultanan, seperti alat utlis, stempel kerajaan/kesultanan, maklumat, surat-surat perjanjian dan sejumlah naskah, termasuk plakat yang ditempatkan pada pintu depan istana.

Setidaknya terdapat 11 maklumat yang dibuat oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang dikirim kepada Sultan Ternate, antara lain mengenai: pergantian Gubernur Jenderal, meninggalnya Raja Willem III dan dilantiknya Ratu Wihelmina dan sebagainya. Yang penting dari maklumat adalah penyambutan secara lengkap nama dan gelar Sultan Ternate yang dikirimi maklumat yang juga seringkali ditemukan terpahat pada nisan-nisan.

Sejumlah surat perjanjian/kontrak juga dalam koleksi museum antara lain kontrak-kontrak yang ditanda-tangani oleh Sultan Ternate dengan kongsi-kongsi dagang maupun perorangan. Dari kontrak-kontrak tersebut, Sultan memperoleh sejumlah konsesi/uang sebagai salah satu sumber pemasukan keuangan Kesultanan. Salah satu kontrak itu dibuat/ditandatangani oleh Sultan Muhammad Uthman pada 27 September 1902 berkenaan dengan eksplorasi mutiara dan perikanan di Teluk Banggai.

Pada pintu depan istana, terdapat plakat beraksara Arab dan terjemahan dalam bahasa Melayu, yang intinya mengenai pembangunan istana pada 30 Dzukqiddah 1228 Hijriah atau 1871 Masehi.

Dari penelitian di lapangan, di Ternate diperoleh enam Al Quran yang ditulis oleh ulama setempat, dua di antaranya mencantumkan nama penyusunnya. Satu di antaranya disusun oleh Fakih Shaleh Afifuddin Abdulbaqi bin Abdullah al Adenani, yang menyelesaikan penyusunannya pada & Dzulkhaidah 1050 H (1640 M). Satu Al Quran lainnya diberikan oleh Sultan Muhammad Zain kepada Imam Mesjid Jiko (Ternate), yang juga disusun oleh ulama setempat pada 1284 H/1834 M.

Keraton (kedaton) Kesultanan Ternate yang dialihfungsikan sebagai museum ini didirikan oleh Sultan Muhammad Ali pada 1228 H/1814 M di atas tanah seluas 44.560 M2, berketinggian sekitar 50 meter di atas muka laut dan berjarak 250 meter dari garis Pantai Resen.

Melengkapi khasanah budaya masa Kesultanan Ternate ini adalah hadirnya benteng-benteng Portugis, yakni Benteng Santa Lucia (1502 M), Benteng Santo Paolo (1522 M), Benteng Santo Pedro dan Benteng Santa Ana; Belanda yaitu Ford Orange (1609).

Jauh mendahului lahirnya UU No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya maka pada tanggal 7 Desember 1976, para ahli waris Kesultanan Ternate dipimpin oleh Sultan Muda Mudzafar Syah, menyerahkan Keraton (bangunan dan lingkungannya) kepada Pemerintah (pasal 7 (1)) cq. Direktorat Jenderal Kebudayaan untuk dipelihara, dipugar dan dilestarikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Silih bergantinya bangsa Eropa yang menduduki atau berusaha menduduki Ternate yang kaya rempah-rempah ini, membuktikan betapa strategis posisi Ternate untuk mengontrol perdagangan di Maluku dan Laut Sulawesi. Benteng, Keraton dan benda-benda sebagai dokumen sejarah dii Ternate, harus tetap dilestarikan untuk memupuk rasa kebanggaan nasional dan memperkokoh kesadaran jatidiri sebagai bangsa yang berdasarkan Pancasila.

Optimalisasi benda-benda cagar budaya Ternate, baik untuk obyek/daya tarik wisata budaya maupun bagi obyek kajian ilmu pengetahuan sejarah dan kebudayaan hendaknya memperhatikan dan menjamin keaslian dan terpeliharanya nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Seluruh aparat terkait di Ternate, baik Depdikbud maupun Polri, Bea Cukai dan sebagainya, sesuai dengan Pasal 15 UU No. 5 Tahun 1992 yang antara lain melarang (a) membara benda cagar budaya ke luar wilayah Republik Indonesia, dan (b) memindahkan benda cagar budaya dari daerah satu ke daerah lainnya. Mobilitas masyarakat yang semakin tinggi dan meningkatnya arus wisatawan, termasuk faktor-faktor yang harus diwaspadai, tanpa harus mengundang tindakan berlebihan.

Usaha pelestarian yang dilakukan oleh pemerintah, antara lain melalui berbagai pemugaran. Pemugaran Keraton Ternate dimulai dari tahun anggaran 1978/1979 – 1981/1982, yang peresmian purnapugarnya dilakukan oleh Mendikbud DR. Daud Jusuf, sedangkan purnapugar Mesjid Ternate diresmikan oleh Dirjen Kebudayaan Prff. DR. Haryati Sobadio pada 15 Oktober 1983. Tentu saja ini masih jauh dari memadai dibandingkan dengan jumlah benda cagar budaya di Ternate. Kemampuan biaya yang dapat disediakan oleh pemerintah amat terbatas dan karenanya sangat diharapkan keterlibatan penyediaan dana dari masyarakat dunia usaha.

Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1995. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara VI. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.