Total Tayangan Halaman

Selasa, 02 Oktober 2012

Sejarah Maluku Utara



SEJARAH MALUKU


Seperti daerah – daerah lainnya di Indonesia, Maluku sebagai wilayah kepulauan memiliki perjalanan sejarah cukup panjang yang tidak dapat dilepas-pisahkan dari sejarah Indonesia secara keseluruhan.

Meskipun di daerah Maluku belum pernah ditemukan fosil/kerangka manusia purba, namun ada asumsi yang mengatakan, bahwa di Maluku pernah hidup manusia purba yang mempunyai kemiripan dengan manusia Homo Sapiens,

yaitu manusia purba yang hidup sekitar 40.000 tahun SM di daratan Jawa dan pulau – pulau lain di Nusantara ini sebenarnya adalah manusia Australoid, yaitu suatu ras manusia yang punya kemiripan dengan penghuni pertama Pulau Seram.

Sebagai daerah yang cukup subur, Maluku tentu saja mengundang kedatangan kaum migrant dari berbagai kawasan yang menimbulkan gelombang perpindahan dan menghasilkan percampuran kebudayaan antara penghuni lama/asli dengan

suku-suku pendatang yang kemudian melahirkan suku-suku baru, seperti suku Alune dan suku Wemale yang mendiami Pulau – pulau seram, Buru, dan Halmahera yang di duga merupakan nenek moyang suku – suku Alifuru, Togifil,

dan Furu-Aru.Pada awal abad ke-7 pelaut – pelaut dari daratan Cina pada masa Dinasti Tang, telah menyinggahi daerah-daerah di kepulauan Maluku untuk mencari rempah –rempah, namun mereka merahasiakannya agar tidak diketahui

oleh bangsa – bangsa lain dalam mencari rempah- rempah itu.Pada jaman keemasan Kerajaan Sriwijaya di Abad ke-12, Kepulauan Maluku termasuk dalam wilayah kekuasaan kerajaan itu. Pada Abad ke-14, Majapahit mengambil alih kekuasaan

maritime di hamper seluruh wilayah Asia Tenggara, termasuk pula Kepulauan Maluku. Para pedagarng dari Eropa, seperti Portugis, Spanyol, dan Belanda baru menemukan jalan ke Kepulauan Maluku pada Abad ke-16.Masuknya agama Islam melalui pedagang – pedagang dari Aceh,

Malaka, dan Gresik pada Abad ke-14 dan ke-15 turut memperkenalkan bentuk pemerintahan yang lebih rapi dan teratur, seperti pada Kesultanan Ternate, Tidore, Bacan serta Jailolo. Pada tahun 1512, bangsa Portugis yang telah menemukan jalan ke Kepulauan Maluku dan

menjalin persahabatan dengan Kesultanan Ternate, diberi izin untuk mendirikan benteng di Pikapoli dan Hitulama serta Mamala. Sembilan tahun kemudian, Spanyol mulai menapakkan kaki di Kepulauan Maluku dan mendirikan benteng di Tidore.Tahun 1570, karena kalah perang

dengan Kesultanan Ternate yang diperintahkan Sultan Baabullah, Portugis diusir dari Ternate dan pindah ke Ambon. Tahun 1577 armada Inggris tiba di Ternate. Bangsa Belanda pun mulai mengincar Maluku dan membantu Hitu dalam perang melawan Portugis di Ambon dan Portugis

akhirnya dapat dikalahkan dan harus menyerahkan benteng pertahanannya yang ada di Ambon kepada Belanda, demikian pula dengan bentent Inggris di Kambelo – Pulau Seram. Sejak saat itu, Belanda menguasai sebagian besar kepulauan Maluku. Posisi Belanda semakin kuat dengan

berdirinya VOC pada tahun 1602 sehingga Belanda praktis menjadi pemegang monopoli perdagangan rempah – rempah di Kepulauan Maluku. Untuk memperkuat kedudukannya di Maluku, Belanda membentuk badan administratif yang disebut Governement van Amboina, demikian pula di Banda,

Kei, Aru, Tanimbar serta teon-Nila Serua yang berada di bawah pengawasan Governement van Banda.System monopoli yang diterapkan Belanda dalam perdagangan rempah –rempah lambat laun mengundang perlawanan rakyat Maluku yang merasa tidak suka dengan penerapan system monopoli tersebut,

sehingga muncullah perlawanan rakyat dimana – mana terhadap belanda. Tahun 1643 Kakiali mengobarkan perlawanan terhadap Belanda. Tahun 1644 Tulukabessy dan Fatiwani bangkit melawan Belanda, namun pada tahun 1646 perlawanan rakyat itu dapat dihancurkan Belanda dan Tulukabessy dihukum

gantung di Benteng Victoria pada tahun 1648.Situasi Eropa turut mempengaruhi keadaan tanah jajahan Belanda di Nusantara tidak terkecuali di kepulauan Maluku. Tahun 1795, Kerajaan Belanda ditaklukkan oleh Perancis dan pada tahun 1799 VOC di bubarkan. Pada tahun 1810, Kerajaan Belanda

menjadi bagian dari Kerajaan Perancis. Kondisi ini sangat berpengaruh bagi kekuasaan Belanda di Kepulauan Maluku. Tahun 1810 kekuasaan Belanda di Maluku jatuh ke tangan Inggris. Inggris Menguasai Maluku sejak tahun 1811 - 1817Tahun 1814, sesuai Konvensi London, Inggris harus mengembalikan

daerah – daerah jajahan yang direbutnya itu kepada Belanda. Tahun 1817, Belanda mulai mengatur kembali pemerintahannya di Maluku dan menyatukannya dalam satu government, yaitu Governement de Molukken.



Apa yang Anda ingat dari sejarah Maluku?  Tentunya sosok pahlawan perjuangan yang sejak sekolah dasar dikenal  kepada kita. Pahlawan tersebut adalah Thomas Matulessy yang kemudian  diberi gelar Kapiten Pattimura.

Padahal lebih dari itu, Maluku ternyata menyimpan sejarah sebagai provinsi tertua sejak kemerdekaan Republik Indonesia. Melimpahnya rempah-rempah di Maluku menjadi cikal-bakal perjalanan panjang sejarah penjajahan di Maluku.

Al-Mulk

Maluku dikenal kawasan Seribu Pulau,  mempunyai ragam sosial budaya dan kandungan alam melimpah ruah. Ditarik  dari sisi sejarah, kepulauan Maluku terdiri dari kerajaan-kerajaan  Islam yang menguasai pulau itu. Nama Maluku sendiri berasal dari kata  bahasa Arab Al-Mulk yang mempunyai makna tanah kerajaan.


Rempah

Maluku  juga memiliki perjalanan sejarah panjang, seperti juga daerah lain,  yang tak bisa dilupakan begitu saja. Sejak dahulu kala, Maluku yang kaya  akan rempah ini dikenal di lintas internasional.

Abad ke-7 pelaut Cina Dinasti Tang, kerap mengunjungi Maluku mencari rempah-rempah. Mereka  merahasiakannya kayanya Maluku, agar tak ada bangsa lain yang datang.

Namun  pada abad ke-9 pedagang Arab akhirnya menemukan Maluku setelah  terombang-ambing mengarungi Samudra Hindia. Selanjutnya, pada abad ke-14  merupakan era perdagangan rempah Timur Tengah dan menjadi sumber masuknya agama Islam di Maluku melalui pelabuhan Aceh, Malaka, dan Gresik.


Portugis

Portugis adalah bangsa Eropa pertama yang menemukan Maluku. Tepatnya pada tahun 1512 membawa dua  armada di bawah pimpinan Anthony d'Abreu dan Fransisco Serau. Seperti  biasa, mereka melakukan kunjungan ke raja-raja dan mendapatkan izin  mendirikan benteng. Namun hubungan tidak lama.

Portugis melakukan sistem monopoli dan menyebarkan agama Kristen.  Sejarah mencatat, persahabatan Portugis dan kerajaan Ternate di Maluku  berakhir pada 1570 oleh perlawanan Sultan Babullah selama 5 tahun  tepatnya sejak tahun 1570 hingga 1575.

Portugis angkat kaki dari Ternate. Hal ini lansung dimanfaatkan oleh Belanda untuk masuk ke Maluku. Belanda semakin kuat karena adanya VOC. Belanda pun menjadi penguasa tunggal di kepulauan Maluku.

Pahlawan

Belanda mendapat tantangan keras dari rakyat Maluku karena kondisi politik, ekonomi, dan hubungan sesama masyarakat  memburuk. Di bawah pimpinan Thomas Matulessy yang kelak diberi nama  Kapitan Pattimura, rakyat Maluku bangkit mengangkat senjata.

Thomas tak lain adalah bekas sersan mayor tentara Inggris.  Meski kemenangan perjuangan awal kian menggelorakan pemuda-pemuda lain,  namun kelicikan Belanda pada akhirnya memprokporandakan para pejuang.  Pattimura pun dihukum mati.


Jepang

Berkecamuknya perang pasifik pada 1941 mencatat kisah sejarah penjajahan di Indonesia. Gubernur Jenderal Belanda kala itu,  melalui radio menyatakan pemerintah Hindia Belanda berada dalam keadaan  perang dengan Jepang.

Sementara tentara Jepang tidak menemui banyak kesulitan saat merebut kepulauan di Indonesia. Mereka  masuk dari daerah utara melalui pulau Morotai sementara arah timur  melalui pulau Misool. Akhirnya, dalam waktu singkat seluruh wilayah Kepulauan Maluku dikuasai.


KE 2



Oleh: Muliansyah Abdurrahman Ways
Maluku Utara merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang baru memekarkan di tahun 1999 dari provinsi induknya Maluku, dimana daerah tersebut selain dikenal daerah para raja-raja juga dikenal sebagai daerah yang memiliki kekayaan alam rempah-rempah dan penghasil ikan laut. Melihat kekayaan perut bumi Maluku Utara cukup melimpah dan punya nilai tawar yang sangat tinggi baik dalam wilayah perairan Republic Indonesia maupun bangsa-bangsa lainya. Patut di syukuri atas limpahan rahmat Tuhan Yang Maha Esa dengan begitu bannyaknya penciptakan kehidupan alam di muka bumi ini khususnya bumi Moloku Kie Raha. Namun Maluku Utara juga di bangun atas dasar local wisdom yang akan menjadi pemikat utama daerah tersebut untuk di bangun. Oleh karena itu sederet dengan kata diatas maka pembangun daerah tidak terlepas dengan pembangunan manusia yang notabene adalah kehadiran mahasiswa itu sendiri, dimana mahasiswa menjadi tulang punggung daerah dan investasi daerah di masa akan mendatang.
Pembangunan daerah menjadi tugas dan tanggung jawab bersama oleh seluruh elemen-elemen di daerah baik PEMDA (Pemerintah Daerah), Mahasiswa, akademisi, LSM maupun masyarakat secara luas. Sehingga bidikan untuk membangun daerah demi masyarakat yang sejahterah dan cerdas dapat di wujudkan, Pertanyaan kemudian adalah apakah penyelenggaraan kekuasaan Negara khususnya di Maluku Utara atau dalam hal ini PEMDA yang bagian dari pengambil kebijakan di wilayah tersebut sudahkah melakukan penyaringan terhadap hal itu atau paling tidak punya perhatian khsusus terhadap kaumla muda/mahasiswa yang merupakan investasi utama dalam membangun daerahnya. Gaya pemerintah elitis dan menampilkan arogansinya adalah salah satu factor ketidakpercayaanya masyarakat mahasiswa terhadap jalanya pemerintahan dan kemudian melahirkan banyak persoalan-persoalan yang berkaitan dengan relasi antara mahasiswa dengan PEMDA dan masayarakat pada umumnya.
Perilaku PEMDA yang arogan dan elitis berdampak pada relasi mahasiswa dengan PEMDA, sehingga daerah hanya menjadi sarang korupsi, kolusi, nepotisme dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah sangat lemah. Apalagi mahasiswa bagian dari social control, social change dan social forces, mereka kapan saja dan dimana saja pasti melakukan sebuah perubahan baik di tingkatan system dan di masyarakat sendiri. Banyak keluhan mahasiswa dari berbagai strata S1, S2 hingga S3 ketika menyentuh dengan PEMDA Maluku Utara dalam pembiyayaan studi di luar Maluku Utara antara lain di Manado, Makassar dan di pulau Jawa. Pemberian wasilitas asrama kepada mahasiswa tanpa ada kejelasan, dan hajatan mahasiswa pun tak di perdulikan oleh PEMDA setempat. Inikah arogansinya PEMDA ketika sudah bersentuhan dengan mahasiswa atau ini bagian dari bobroknya birokrasi di lingkungan PEMDA Maluku Utara.
Seorang Gaetano Mosca dalam bukunya The Rulling Class pernah mengingatkan bahwa ada yang namanya “sirkulasi elite” dimana elite yang berkuasa adalah orang-orang yang duduk di tempat-tempat strategis diataranya Gubernur, Buapti, Walikota dan kroni-kroninya. Dia mencoba mengklasifikasikan elit ini ke dalam dua status yaitu elit yang berada dalam stuktur kekuasaan dan elit yang diluar stuktural yaitu masyarakat. Elit berkuasa menurut Mosca yaitu elit yang mampu dan memiliki kecakapan untuk memimpin dan menjalankan control social. Dalam proses komunikasi, elit berkuasa merupakan komunikator utama yang mengelola dan mengendalikan sumber-sumber komunikasi, sekaligus mengatur “lalu lintas” transformasi pesan-pesan komuniaksi yang mengalir baik secara horinzontal maupun vertical. Elit berkuasa selalu menjalin komunikasi dengan elit masyarakat untuk mendapatkan legitimasi dan memperkuat kedudukan sekaligus mempertahankan status quo. Hal ini dapat di korelasikan dengan elite PEMDA dan masyarakat mahasiswa yang di maksud, maka kedua elite tersebut bukan menjalin simbiotik mutualisme tetapi justru teori terbaliklah yang membuat kerenggangan antara PEMDA dan Mahasiswa.
Padahal kalau di telisik lebih jauh bahwa sumber kerenggangan antara mahasiswa dan PEMDA bukan pada persoalan bobtroknya sebuah system demokrasi, akan tetapi yang menjadi symbol kerenggangan adalah ruang dialog antara PEMDA dan mahasiswa agak langkah bahkan tidak pernah. Sehingga inilah penulis maksud bahwa gaya arogansi dan elitisnya PEMDA menjadi dilema. Kasus beberapa hari yang lalu hajatan mahasiswa Maluku Utara Se-Indonesia di Makassar yang sebelumnya tahun 2009 di laksanakan di Jakarta yang di beri nama “Kongres Mahasiswa Maluku Utara Se-Indonesia” yang bertajuk konsolidasi dan silaturrahmi agar memupuk persatuan dan kesatuan mahasiswa Maluku Utara dalam bingkai marimoi ngone future. Nampaknya tidak satupun symbol-simbol atau muspida PEMDA Maluku Utara yang datang menggelorahkan kegiatan mahasiswa tersebut, seolah PEMDA “acu” terhadap hajatan mahasiswa yang setiap tahun di laksanakan. PEMDA tidak satupun unjuk gigi pada kegiatan yang dilangsungkan, sehingga pada saat itu ketua umum mahasiswa Maluku Utara-Makasasr dalam sambutanya juga sempat menyinggung bahwa ”kami tidak iklas nama atau logo yang terpampan di depan kami” (kata Tilawa).
Ketidakpeduliannya PEMDA terhadap mahasiswa itulah membuat mahasiswa semakin kecewa terhadap sikap atau perilaku PEMDA Maluku Utara yang sangat arogan dan elitis. Kenapa PEMDA tidak begitu welcome untuk membuka ruang dialog dengan mahasiswa, jangan menganggap remeh dengan mahasiswa, karena mahasiswa adalah biang dari agen perubahan itu sendiri. Cobalah kita membalik paradigma bahwa mahasiswalah yang menjadi investasi pembangunan manusia Maluku Utara dimasa akan datang. Kalau ini sudah terbangun, maka tidak ada lagi pemisahan dan menganggap mahasiswa bagian dari ancaman. Justru yang terjadi adalah mahasiswalah bagian dari tulang punggung daerah.
Oleh karena itu, sikap arogan dan elitis di lingkungan PEMDA Maluku Utara diharapkan tidak terulang lagi, jadikan PEMDA Maluku Utara sebagai sentral dilaketika untuk membangun bangsa dan daerahnya. Bukalah ruang dialogis antara PEMDA dan Mahasiswa agar terciptanya komunikasi yang intens dan konsolidasi aktif untuk mencari solusi yang solutif, sehingga berbagai elemen mampu menjawab, mengartukulasikan dan dapat mendefinisikan tantanagan yang dihadapi oleh masyarakat Maluku Utara.